Selasa, 16 Agustus 2011

PARADIGMA BARU MANAJEMEN SEKOLAH

PARADIGMA BARU MANAJEMEN SEKOLAH
Oleh : Saiful Bahri Yusuf

A. Pendahuluan
Membentuk masyarakat Indoensia baru yaitu masayarkat madani Indonesia tentunya memerlukan berbagai paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi. Suatu masyarakat yang demokratis tentuknya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis.
Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik yang mematikan inisiatif berfikir manusia bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik baik di dalam manajemen maupun di dalam penyusunan kurikulum harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis.
Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang komplek. Dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetisi di dalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebinnekaan malahan mengembangkan kebinnekaan nenuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Paradigma baru pendidikan haruslah dituangkan dan dijabarkan di dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
B. Reposisi Pendidikan Nasional
Dengan paradigma baru pendidikan nasional untuk mengujikan masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani Indoensia maka posisi pendidikan nasional harus disesuaikan dengan tuntutan tersebut. Di dalam menentukan posisi pendidikan nasional tersebut beberapa konsep perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih lanjut di dalam program-program serta kegiatan yang nyata. Pendidikan ternyata perlu dilihat di dalam lingkupan pengertian yang luas. Hal yang perlu dikaji kembali yaitu:
Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai scholling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai scholling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu rumusan mengenai pendidikan yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting di dalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka.
Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia perlu diperlukan kesempatan pengembangannya di dalam program kurikulum yang luas dan fleksibel di dalam pendidikan formal dan non formal selanjutnya pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya, tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and civilized human being).
Dengan terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah pada tahun 1999. Maka dimulai salah satu rentetatan proses demokratissasi didalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesi. Proses demokratisasi tersebut berarti suatu perubahan wawasan baik didalam pemerintahan maupun pembangunan. dengan bidang pemerintahan, peranan perintah pusat yang mula-mulanya sangat setralistik, diubah menjadi pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Didalam bidang pembangunan terjadi perubahan wawasan dari wawasan top-down berubah menjadi grassroot.
Didalam perubahanwawasan tersebut kita semua masih menunggu terbitnya berbagai peraturan pemerintah yang mengatur tata cara pelaksanaannya. Perubahan wawasan juga terjadi didalam pembanguan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan bangsa kita.
Tampa bermaksud mengurangi makna dari nilai yang telah dicapai dalampengelola pendidikan pada masa sebelum era reformasi, namun era tersebut dipandang sebagai erayang sangat sentarlistik, segala sesuatunya dia sumsikan oleh dan dari Jakarta. Manajemen seperti bisa diterima sebagai kebenaran pasa masanya, meskipun secara umum diketahui tidak baik. namun hal tersebut dilaksanakan oleh pemerintah pusat sebagai kebijakan yang terbaik. Sedangkan era reformasi saaat ini menuntut berbagai hak yang harus diterima dan dinikmati oleh daerah. Salah satu diantaranya yang dituntut keras adalah otonomi dalam pelaksanaan pengelolaan pendidikan, demi perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama diakui sangat rendah dan tidak dapat berkompetisi di kancah internasional apalagi pada kancah era globalisasi yang selama ini didengungkan.
Kita memahami bahwa berbagai tuntunan yang dimaksud antara telah ada yang diberikan meskipun tanpa keikhlasan sepenuhnya dari pemerintah pusat. Ketidak keikhlasan itu dapat ditandai dari tidak seriuasnya atau seperti kurang peduli dalam hal kesiapan pemerintah melaksanakan pemberian berbagai hak otonomi dimaksud. Sebagaimana dikemukakan oleh Ryas Rasyid dalam pernyataanya dalam wawancara RRI Semarang pada tanggal 25 April 2001 pukul 08.00 WIB, sebagai bukti adalah dari 700 peraturan pemerintah pendudukung UU No. 22 dan 25 nyaris tidak ada yang dikerjakan.
Ketidakikhlasan dari pihak pemerintah tersebut tidak terkecuali dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, yang sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatuir pelaksanaan pendidikan dan kebudayaan sebagai realisasi otonomi daerah. Kita boleh atau dapat mempertanyakan berbagai peraturan pemerintah yang ada kaitanya dengan bidang pendidikan dan kebudayaan sebagaimana halnya dengan PP 27, 28, 29, 31, 32 Tahun 1990, dan 60 tahun 1999? Semuanya dengan adanya UU Nomor 22 dan Nomor 25 seharusnya tidak berlaku lagi, karena PP itu disusun di bawah payung USPN Nomor 2 tahun 1989 dengan asumsi sentralisasi tadi.
Salah satu dari pelaksanaan Undang-undang otonomi daerah ilaha di dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Penyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan yang akan menjadi tugas dan wewenang daerah didalam pelaksanaanmemerluka persiapan-persiapan baik didalam penyusunan perncana, program dan penyediaan sumber daya.
Terlepas dari kebelumadaan berbagai regukalasi yang mengatur pelaksanaan otonomi pendidikan didaerah, saat ini telah beredar buku manajemen mutu berbasis sekolah terbitan Depdikbud. dipersepsi sebagai upaya mengawali otonomi pendidikan sambil menunggu terbitnya PP tentang pendidikan.
C. Otonomi Pendidikan
Ketidakjelasan pengelola pendidikan pada otonomi daerahini menjadi serba simpang siur informasi yang beredar dilapangan sedikit ada tiga wacana umum pngelola pendidikan pada otonomi dimaksud yaitu : pertama tetap pemerintah pusat, yang pelaksanaannya selama ini diberikan wewenang kepada daerah kedua adalah pemerintah Kebupaten sebagai pengelola otonomi yang berkewajiban mulai dari memikirkan hingga memenuhi kebutuahannya, mulai dari membuat hingga evaluasi kurikulumnya dan yang ketiga adalah masingmasing sekolah. sekolah secara grass root memikirkan dan memenej sekolahnya masing-masing secara otonomi, meskipun dana tetap mendidik kewajiban pemerintah kabupaten untuk menyedianya. yang terakhir ini yang dimaksud dengan paradigma baru manajemen persekolahan kita.
Ketiga paradigma tadi muncul secara kacau disebabkab oleh tidak siap dan singapnya pemerintah pusat mempersiapkan berbagai PP, sementara daerah tidak sabar menunggu terbitnya PP-PP tersebut, entah kapan. Terserah yang mana yang benar nantinya. Namun perlu perkajian terhadap paradigma tadi.
Penyerahan manajemen pada sekolah sungguh sangat riskan kecuali beberapa sekolah yang berada di inti kota (seperti dijawa utamanya).
(kepala) sekolah mana di inidonesia yang mampu memenej sekoah secara kafah. Sekolah mana yang mampu membuat kurikulum dan mengevaluasi kurikulumnya.
Penyerahan manajemen pendidikan kepada pemerintah kabupaten juga merupaka kebijakan yang harus memikul resiko besar setidak lima sampai sepuluh tahun pertamanya. Pada awalnya, mereka pasti kesulitan membuat kurikulum yang berwawasan lokal sekaligus globa dibawah payung nasional. Baikla, pembuatan kurikulum diminta jasa/bantuan kepada perguruan tinggi saja pun masih adopsi sana sini, jipklasana jiplaksini (namun diharapkan tidak lah demikian), sebab perguruan tinggi sendiri pada umumnya masih belum berpengalaman dalam hal menepuni kurikulum jenjang pendidikan sebelum penguruan tinggi.
Penyerahan kebijaksanaan pendidikan kepda daerah ini akan membentuk kualitas pendidikan yang sangat variatif dan perbedaan yang sangat ekstrim, meskipun terdapat faedah yang cukup banyak.
Penggeseran sebahagian kekuasaan pemerintah pusat kedaerah bukanlah Indonesia sebagai pioner, meskipun pada istilah yang berbeda, dan semuanya menangung resiko. Resiko di perparah lagi karena tak satu pun negara yang menyerahkan kekuasaannya kedaerah yang didasarkan karena kesadaran dn kerelaan, pada ummnya dimulai dari kekacauan dalam berbagai bentuk.
Spanyol misalnya, mulai dari perang saudara anatara pusat dan daerah tahun 1936 yang akhirnya dimenangkan pusat yang kemudian dipinpin oleh seorang diktator Jendral Francisco Franco selama 40 tahun. Kemudian pada tahun 1960 gelombang demokrasi Belanda kepemimpinan sang Jendral hingga pada akhirnya hayatnya.
Pendidikan yang berfokus sekolah mereka praktikkan menunjukan bahwa banyak dewan sekolah yang lamban menyesuaikan diri terhadap manajemen baru itu, juga banyak guru-guru yang berbakat enggan ambil bagian dalam tanggung jawab kepemimpinan sekolah karena daerah tidak mampu memberikan gaji dan insentif yang layak bagi mereka.
Di Chillie, hasil-hasil ujian standar ujian nasional ternayata menurut sebanyak 14 persen untuk bahasa spanyol dan 6 persen untuk matematika sebagai implikasi dari desentarlisasi dengan berbagai konsekuensinya. Demikian juga di berbagai negara lain seperti Argentina, Brazil, Meksiko, dan India, serta negara lain-lain, pelaksanaan otonomi tersebut membuat mutu pendidikan menjadi tergangung pada kurun waktu 5-10 tahun pertama.
D. Paradigma Manajemen Baru
Di atas telah diunggkapkan bahwa tuntunan akan otonomi daerah salah satu adalah tuntunan akan kualitas pendidikan kita. Harus diakui bahwa kualitas pendidikan kita nelum dapat bersaing dengan negara negara lain. di lihat dari indikator kualitas penyiapan sumber daya manusia, Indonesia berada pada urutan 108 dari 137 yang disurvai. Sebaliknya harus diakui bahwa berbagai upaya menuju peningkatkan kualitas telah dilakukan.
Berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru telah dilakukan, pengadaan buku dan alat pembelajaran telah ditingkatkan, perbaikan sarana dan prasarana terus dilakukan, peningkatan mutu manajemen juga terus diuapayakan. Akan tetapi tetap pada mutu yang rendah. Lalu, apa yang salah dalam penyelenmggrakan pendidikan kita?
Pengamatan serrta pengalaman menunjukan tiga faktor sebagai penyebab utama rendanya mutu pendidikan kita yaitu :
Pertama adalah pendekatan yang digunakan, yakni educational production function atau imput-out put analysis yang dilaksanakan tidak konsisten. Asumsi yang ditekankan adalah, apabila segala sesuatu imput dipenuhiseperti kualifikasi guru dan inservis trainingnya, buku dan alat pembelajaranya, sarana dan prasarananya, dll, maka sekolah sebagai pusat produksi akan mengahsilkan out put yang dikehendaki. Kenyataan kita gagal. Sekarang disadari bahwa kita mengabaikan pemantauan terhadap proses, kita menekankan kepada in put dan out put.
Kedua adalah penyelenggarakan pendidikan nasional yang sentralistik. Paradigma ini menganut faham bahwa sekolah adalah pelaksanaan keputusan birokrat pusat yang penyampaian keseloah melalui birokrasi yang sangat panjang dan berliku-liku. Keputusan yang diambil dalam pedidikan yang sentralistik ini semua berasumsikan Jakarta ; padahal Jakarta bulkanlah prototipe persekolahan Indonesia baik dari sudut mana saja kita memandangnya.
Ketiga adalah lemahnya empowering masyarakat. Penyenglenggaraan pendidikan nasional selama ini lemah dalam melibatkan peranserta masyarakat.
Masyarakat tidak dilibatkan segala proses masyarakat hanya terlibat dalam pengadaan dana, lewat SPP, BP3 dan semacam yang seperti itu. masyarakat tidak dilibatkan dalam monitoring dan evaluasi, dan tidak dilibatkan dalam pembuatan laporan dan pertanggungjawaban.malahan, akutanbiklitas sekolahputidak ada kep[ada masyarakat,seolah sekolah terpisah dan tidak punya beban terhadap masyarakat.
Setelah mengakji ketiga faktor penyebab itu, muncul paradigma baru amanajemen pendidikan kita, yaitu selain bertumpu pada imput out-put juga proses, desentralisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Pengelolaan pendidikan kita terpusat di sekolah. sekolah harus melibatkan siapa saja (stake holders) untuk memikirkan, merencakanan, melakonil, mengkontrol, mengevaluasi, dan pemberian pertanggunng jawaban pelaksanaan pendidikan di sekolah. Sekolah harus membentuk dewan sekolah atau majelis sekolah ataupun apa namanya.
Berpengalaman dari kegagalan kita selama ini dan mengambil pelajaran dari9 berbagai negara modern dalam pendidikan, kita tidak boleh mundur ke sentralistik pengelolaa pendidikan. desentralisasi pendidikan kita bukan pada tingkat meso melainkan pada tingkat grass roots, yakni di sekolah, meskipun kita harus menderita 5-10 tahun. Pemberdayaan masyarakat lewat pembentukan wadah semacam dewan sekolah mutlak perlu. Orang tua pelajar, pengusaha, politisi, pemikir, kalangan penguruan tinggi, dan lain-lain harus dilibatkan dalam dewan sekolah.
E. Manajemen Mutu Berbasis Sekolah dalam Perspektif Otonomi Daerah
Mutu atau kualitas pendidikan marupakan cita-cita semua orang yang berkepentingan terhadap pendidikan. meskipun pembicaraan terhadap mutu pendidikan tidak habis-habisnya namun memterjemahankan dalam wujud kerja merupakan sesuatu yang amat sulit, karena pemahaman orang terhadap mutu itu sendiri bermacam-macam, tergantungg kepada sudut pandang yang dugunakan.
Disini mutu artikan dalam istilah umum, yaitu gambaran dan karalteristik menyeluruh ddari barang-barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuasakan kebutuhan yang ditentukan (Depdikbud 2000)
Dalam pendidikan, mutu menyangkut kepada tiga variabel imput, proses, dan output. Mutu pendidikan menjadi lebih semangat lagi dibicakan pada perspektif otonomi daerah yang telah digulirkan sejak Januari 2001 yang lalu. Semua penikmat pendidikan berharap banyak terhadap otonomi daerah, kiranya mampu mendongkrak mutu pendidikan Indonesia lewat kompetisi antar kabupaten.
1. Manajemen Mutu Berbasis Sekolah.
Manajemen mutu berbasis sekolah (MBS) bertujuan untuk mendirikan dan memperdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.
Adapun mutu yang hendak digapai itu adalah: imput. Yaitu segala sesuatu yang harus tersedia karena membutuhkan demi keselenggarakan proses. Sesuatu yang dimaksud adalah berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pembantu bagi berlangusng proses. Sumber daya dimaksud adalah sumber daya insani, seperti kepala sekolah, guru, karyawan, dan peserta didik, dan sumber daya selebihnya, seperti uang, peralatan, bahan, dan sebagainya.
Harapan-harapan dimaksud berupa visi, misi, tujuan dan targert yang ingin dicapai oleh sekolah. semuanya ini secara ideal harus siap agar prosesdapat terlaksana baik. secara konsepsional, semakin tinggi tingkat kesiapan imput semakin tinggi muru imput tersebut.
Proses, meriupakan berubahnya sesuatu menjadi sutau yang lain. sesuatu itu adalah imput, sedangkan sesuatu yang lain itu disebut output.
Disekolah, yang dimaksud dengan proses adalah, seperti pengambilan keputusan, pengelolaan program proses belajar mengajar, monitoring, dan evaluasi. Keseluruhan proses yang ada, proses belajar mengajar merupakan proses yang emiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada proses yang lain.
Yang terakhir adalah output, merupakan kinerja sekolah. yakni prestasi peserta didik menunjukakan pencapaian yang tinggi dalam hasil Ebtanas misalnya, atau bidang non akademi.
Konsep utama dari MBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan. Otonomi diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur sekolah mengurus diri sendiri. Otonomi sekolah adalah kewenangan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspira warga sekolah sesuai dengan peraturan undang-undag pendidikan yang berlaku. Dalam praktiknya dituntut kemampuan yang tinggi dalam banyak hal dari warga sekolah.
Pengambilan keputusan dalam hal MBS adalahpengambilan keputusan partisipasi. Bahwa keputusan yang diambil merupakan keputusan yang terbaiksecara demokrat dan terbuka dari banyak pertimbangan para stake holder.
Yang menjadi stake holder adalah kepala sekolah, gru, orang tua siswa, tokoh masyarakat, perwakilan dari mengambil keputusan partisiapsi ini adalah, semua pihak menjadi merasa memiliki terhadap keputusan itu, sehingga merka akan bertanggung jawab dan berdikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Singkatnya, semakin besar partisipasi, semakin besar pula rasa memiliki, semakin besar rasa memiliki, semakin besar pula rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasi. (Depdiknas, 2000)
Uraian diatas menunjukkan betapa besar peran dan fungsi sekolah dalam upaya meninkatkan mutu. Sekolah menjadi unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedangkan unit-unit di atasnya, kandicam, kandinkab, dan kandin merupakan pendukungnya, khususnya dalam mengelolaan peningkatan mutu.
Tuntunan ini mengisyaratkan kepala sekolah harus cerdas dan terpilih. Ciri seorang kepala yang cerdas adalah yang banyak gagasan cemerlang dan mampu membuat gagasan yang teralisasi. Kepala yang terpilih adalah kepala yang ditetapkan oleh pejabat berwenang setelah melalui seleksi dari stake holder tadi. Rekrutmen calon kepala sekolah bisa dari sekolah lain (external reqruitmen). Karakteristik MBS. Apabila sekolah ingin menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik berikut perlu dimiliki:
Output adalah gambaran kinerja sekolah. kinerja sekolah dalam prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses yang berlangusng di sekolah tersebut. kinerja sekolah diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovaisnya, kualitasnya kehidupan kerjanya, serta moral kerjanya. Output dari proses kerja sekolah berada dalam dua dimensi akademi (academic achievement) dan dimensi non-akademi (non-academic achievement).
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. berubahnya imput (siswa) dari tidak tahu menjadi tahu, misalnya.
Variabel ini diukur lewat indikator: efektivitas proses belajar mengajar tinggi; kepemimpinan kepala sekolah yang kuat; pengelolaan yang efektif tenag kependidikan; sekolah memiliki budaya mutu: sekolah memiliki teanwork yang kompak, cerdas, dan dinamis; sekolah memilik kemandirian, partisipasi warga sekolah dan masyarakat yang tinggi. seolah memiliki keterbukaan manajemen, sekolah memiliki kemampuan untuk berubah; sekolah melakukan evaluasi dan pebaikan secara berkelanjutan; sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan; sekolah memiliki akuntabilitas; sekolah memiliki sustainbilitas.
Imput adalah segala masukan yang memungkinkan berlangusng dan tercapainya proses yang berkualitas. Termasuk kedalamnya adalah, siswa, guru, cita-cita (visi, misi, tujuan, target), sarana prasarana, kepala sekolah, konserlor, karyawan, uang dan sebagainya. Keseluruhan harus sinergik secara total untuk mencapai mutu. Takaran untuk variabel ini adalah sekolah memiliki kebijakan mutu, tersedia SDM cukup, cakap dan siap, sekolah memiliki harapan prestasi yang tinggi, fokus pada pelanggan, dan sekolah memiliki imput manajemen. Paradigma, yakni imput-proses-output, dengan masing-maisng indikatornya. Yang menjadi inti pada MBS ini adalah otonomi dan pengambilan keputusannya, yakni, mandiri hampir dalam segala aspek, termasuk sangat memungkinkan untuk mencari uang sendiri.
Diantara segalanya itu uang, adalah faktor utama sekali, harus menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Mari kita mulai membangun daerah lewat pendidikan, tumpahkan segala perhatian kepada pendidikan. biarlah kita ulang “berakit-rakit kehlu berenang-renang ketepian, biarlah bersakit kita dahulu asalkan anak cucu serta para cicit kita senang di kemudian hari”.
2. Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Karakteristik yang dimulai dengan output dan diakhir dengan input mengingat outpu memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
Untuk tercapainya output yang bermutu, maka prosespun harus bermutu. Adapun proses yang bermutu mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. efektifitas proses belajar mengajar tinggi
2. kepemimpinan sekolah yang kuat
3. Pengelolaan yang efektif tenaga kependidikan
4. Sekolah memiliki budaya mutu
5. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
6. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat
7. Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi manajemen)
8. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik)
9. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
10. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan
11. Sekolah memiliki akuntabilitas
12. sekolah memiliki sustainalitas
Semuanya ini dapat terwujut apabila imputnya berkualitas, adapun imputa yang berkualitas mempnyai ciri sebagai berikut :
1. Memiliki kebijakan mutu
2. Sumber daya tersdia dan siap
3. Memiliki harapan prestasi yang tinggi
4. Fokus pada pelanggan (khususnya peserta didik )
5. Input manajemen
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulalkan bahwa paradigma baru Manajemen Sekolah memang sangat tepat diterapkan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, sehingga bangsa kita dapat mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dalam bidang pendidikan.
Pendahuluan
Garis-Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu "manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi luhur, berdisiplin, bekerja keras tangguh, bertanggung jawab, mandiri cerdas dan terampil serta sehat rohani dan jasmani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta terhadap tanah air dan kesetia kawanaan sosial.
Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan baik secara informal, non formal maupun formal perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak, mengingat pendidikan adalah faktor penting dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan dapat menentukan tingkat peradaban suatu golongan masyarakat, bahkan tingkat peradaban suatu bangsa. Oleh karena itu baik buruknya peradaban suatu bangsa ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan dalam negara tersebut.
Disisi lain, pendidikan yang diperoleh seorang anak di tiga lingkungan yaitu pendidikan dalam keluarga, masyarakat dan dilingkungan sekolah. Dalam hal ini, Sulaiman (1976:9) mengemukakan ada tiga lingkungan pendidikan sebagai berikut :
Selama pendidikan ditujuakan pada usaha pengembangan corak kepribdian seseorang, maka ketiga lingkungan hidup manusia yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat akan selalau mempengaruhi perkembangan kepribadian itu dalam ketiga lingkungan itu berlangsung pendidikan bagi seseorang apakah ia masih anak maupun dewasa. Proses pendidikan itu terjadi karena seseorrang terlalu beriteraksi dengan lingkungannya. Pendidikan di sekolah deisebut formal dilingkungan masyarakat disebut non formal dan dilingkungan keluarga disebut informal.

Dengan demikian pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak, terutama orang tua karena pendidikan ynag pertama diterima oleh anak dalam keluarga. Pendidikan anak yang baik akan menghasilkan warga negara yang berkualitas tinggi, baik jasmani dan rohani yang akan menjamin kualitas generasi muda yang akan datang.
Pendidikan dalam keluarga sangat penting, karena seorang anak pertama kali menerima pendidikan dalam keluarganya, sebab anak lebih banyak waktunya dalam keluarga dari pada di sekolah. Sebab orang tua sangat menentukan keberhasilan pendidikan anaknya. Sehubungan dengan hal ini nabi Muhammad SAW bersabda, yang maksudnya " setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah (suci), maka ibu bapaknyalah yang menasranikan, meyahudikan atau memajusikan mereka"
B. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan permasalahan di atas , maka yang menjedi tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui :
a. Pendidikan dan perubahan pada anak
b. Fungsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak Keluarga
c. Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Anak dalam Keluarga.
C. Manfaat Pembahasan
Hasil pembahasan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama :
a. Penulis sendiri dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai peran orang tua dalammendidik anak dalam keluarga
b. Para pembaca dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam mendidik anak-anaknya dalam keluarga

D. Pembahasan
Simanjuntak (1973:7) mengemukakan bahwa orang tua adalah " ibu dan ayahnya, merupakan orang yang terdekat dengan anak" . Selanjutnya Ahmadi (1991 : 241) mengemukakan orang tua (ayah dan ibu) menjadi " pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya". Arifin (1977:74) menegaskan bahwa orang tua adalah " kepala keluarga, yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya"
Dari ketiga pendapat di atas jelaslah bahwa yang dimaksud dengan orang tua adalah ibu dan ayah dari anak-anak dalam suatu keluarga, yang mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anaknya terutama terhadap pendidikan, karena orang tua merupakan guru yang pertama dan utama bagi seorang anak. Oleh karena itu orang tua perlu menjadi panutan yang positif bagi anak-anaknya. Maka orang tua mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap keberhasilan pendidikan anak-anaknya, sehingga orang tua tidak hanya menganggap bahwa pendidikan hanya tanggung jawab guru di sekolah.
Paran orang tua terhadap pendidikan sangat menentukan terutama pada usia sekolah dasar, karena usia tersebut anak masih terikat dengan orang tua, bahkan kecenderungan anak masih terbawa keadaan atau kebiasaan dalam keluarga, sebab pada usia tersebut anak belum dapat memilih dan memilah antara yang benar dengan yang salah. Oleh karena itu pendidikan dalam keluarga sangat menentukan keberhasilannya di sekolah. Untuk lebih jelas tentang pendidikan dapat dilihat uraian berikut : Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan partisipasi orang tua dibatasi pada keterlibatan orang tua dalam pembinaan, penyediaan buku, fasilitas dan pengawasan.
1. Pendidikan dan perubahan pada anak
Pengertian pendidikan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, karena sudah sering mendengarnya baik dikota maupun didesa. Namun ada juga diantara anggota masyarakat yang belum mengetahui arti yang sebenarnya dari pendidikan. Arifin (1997:12) hakikat pendidikan adalah "usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal".
Selanjutnya Bratanusa (Ahmadi 1991:69) pengertian pendidikan adalah " usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan". Kemudian Rousseau (Ahmadi 1991:69) pendidikan adalah " memberi kita pembekalan yang tidak ada pada anak-anak, akan tetapi bias membutuhkan pada waktu dewasa". Pendidikan yang merupakan bagian dari pembangunan yang memegang peranan penting, maka banyak sekali para ahli yang memberikan definisi tentang pendidikan, dimana para ahli tersebut dalam mendefinisikan pendidikan sudut pandang mereka masing-masing.
Pendidikan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pengaruh, bantuan atau tuntutan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya dalam keluarga semenjak anak tersebut masih kecil. Untuk mengetahui tingkat pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga pada perubahan sikap atau prilaku, serta kemampuan dan keterampilannya. Untuk lebih jelas mengenai perubahan tersebut dapat dilihat uraian berikut.

a. Perubahan yang terjadi secara sadar
Menurut Ahmadi (1991 : 72) perubahan yang terjadi secara sadar, dimaksudkan bahwa " seseorang yang telah mengalami proses belajar dapat menyadari dan merasakan adanya perubahan dalam dirinya". Dengan demikian seseorang dapat merasakan bahwa pengetahuannya telah bertambah, kebiasaannya telah berubah, demikian juga mengenai kecakapan dalam melakukan suatu pekerjaan.
b. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan dalam belajar bukanlah bersifat sementara, akan tetapi bersifat permanen dan tidak mudah hilang dalam waktu yang relatif singkat. Sehubungan dengan ini, Natawijaya (Imanuddin, 1980:15) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara bahwa " Kecakapan seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar, tidak akan hilang begitu saja melainkan terus dimiliki bahkan makin berkembang kalau terus digunakan atau terus dilatih".
c. Perubahan bersifat kontinyu dan fungsional
Selanjutnya Ahmadi (1991 : 73) menjelaskan bahwa perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional, artinya "perubahan yang terjadi akan dapat mempengaruhi perubahan yang lain serta bermanfaat bagi kehidupan individu itu sendiri". Seorang anak belajar naik sepeda akan mengetahui bahwa telah terjadi perubahan pada dirinya dari tidak dapat naik sepeda menjadi dapat. Perubahan ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi berlangsung terus sehingga kecakapan naik sepeda menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Di samping itu dengan kecakapan yang dimilikinya dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

d. Perubahan bersifat aktif dan positif
Ahmadi (1991 : 72) menyatakan bahwa perubahan dalam belajar bersifat aktif dan positif, artinya " perubahan yangt terjadi senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik atau lebih sempurna". Dengan demikian semakin semakin banyak usaha belajar semakin banyak pula perubahan yang diperoleh. Dan perubahan belajar juga bukan terjadi secara otomatis, tetapi merupakan usaha dari individu itu sendiri secara aktif.
e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Ahmadi (1991 : 73) mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi melalui proses belajar bertujuan atau terarah, berarti " perubahan tingkah laku itu terjadi karena adanya tujuan yang ingin dicapai dan selalu diarahkan pada tujuan yang benar-benar disadari". Seorang yang belajar montir radio telah menetapkan lebih dahulu apa yang mungkin dapat dicapai dengan belajar montir radio tersebut atau jenis kecakapan yang bagaimana akan diperolehnya. Dengan demikian perbuatan belajar selalu diarahkan pada tingkah laku manusia yang menjadi tujuan utama.
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Ahmadi (1991 : 73) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku bahwa ”perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang telah belajar meliputi perubahan seluruh tingkah laku orang tersebut". Dengan demikian seseorang yang telah mengalami proses belajar akan nampak pada dirinya adanya periubahan baik dalam pengetahuan, sikap, keterampilan maupun kebiasaan-kebiasaan. Hanya dari perubahan-perubahan tersebut tidaklah semuanya nampak dengan jelas, kecuali dalam bidang keterampilan. Perubahan anak dapat diperhatikan dalam ia bersikap,bertindak, berkata dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari
2. Fungsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak Keluarga
Pada hakekatnya tanggung jawab orang tua terhadap anak sangat besar, karena anak merupakan amanah Allah SWT kepadanya. Oleh karena itu fungsi orang tua terhadap anak-anaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan dan sandang saja, tetapi juga harus dapat memberikan perlindungan terhadap rasa aman, rasa sayang dan yang lebih penting adalah pendidikan. Karena melalui pendidikan inilah anak dapat mengenal diri orang tua dan Tuhannya. Di sisi lain seorang anak memperoleh kebahagian hidup dunia dan akhirat dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan baik yang diterima dalam keluarga, masyarakat maupun di sekolah.
Segala bentuk bantuan, tindakan yang diberikan orang tua dalam keluarga untuk membentuk kepribadian anaknya dalam upaya mendewasakan anak dan sekaligus untuk mencapai keberhasilan pendidikannya. Usaha ini sangat menentukan dalam proses pendidikan anak dimasa yang akan datang.
Darwis A Sulaiman (1979:11) mengatakan pekerjaan rumah yang diberikan kepada anak merupakan "suatu kesempatan untuk lebih mengenal sekolah dan juga untuk melengkapi pendidikan anak mereka sendiri". Selanjutnya Winkel (1983 : 52 ) mengemukakan fungsi orang tua terhadap pendidikan anak dalam keluarga yaitu "
(a) fungsi orang tua sebagai contoh bagi pribadi anak,
(b) orang tua sebagai motivator anak dalam belajar,
(c) orang tua sebagai pemenuhan fasilitas belajar anak,
(d) orang tua harus membantu anak dalam proses belajar anak,
(e) orang tua sebagai pembentuk kedisiplinan anak dan
(f) mengikut sertakan anak dalam kegiatan ekstrakurikuler .

a. Fungsi orang tua sebagai contoh bagi pribadi anak
Zakiah Darajat (1988 : 54) menegaskan fungsi orang tua dalam keluarga adalah "orang yang senantiasa dapat memberikan contoh teladan bagi anak dalam keluarga dengan perbuatan dan tindakannya sehari-hari". Suatu konsep berfikir atau sikap orang tua yang baik merupakan modal yang baik bagi perkembangan kepribadian anak dimasa yang akan datang, agar anak benar-benar mencapai kedewasaan dalam arti seluas-luasnya.
Dengan demikian orang tua harus menunjukkan sikap dan perbuatan serta tindakan yang baik kepada anaknya karena anak akan terus meniru apa yang dilihatnya. Dengan kata lain anak akan mengikuti semua gerak pola tingkah laku orang tuanya dirumah secara diam-diam sehingga terbawa ketempat yang lain. Sehubungan dengan hal ini, Darajat ( 1988:76) mengemukakan orang tua sebagai contoh bagi pribadi anak, karena " sikap orang tua seringkali ditiru anak tanpa diketahui". Jadi semua cara orang tua bertingkah laku menjadi contoh teladan yang senantiasa merupakan sumber yang harus diikuti oleh anaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkah laku yang dimaksud disini adalah tingkah laku positif, karena orang tua yang sudah matang akan berusaha memperlihatkan contoh-contoh yang positif untuk anak-anak mereka dengan jalan yang searah dan cara yang bermacam-macam termasuk mengahadapi masalah-masalah sehari-hari.
b. Orang tua sebagai motivator anak dalam belajar
Menurut Ahmadi (1991 : 41) orang tua sebagai motivator (pendorong) anak dalam belajar adalah " orang tua dalam mendidik anaknya dapat memberikan suatu pengaruh atau daya dari belakang, sambil mengikuti arah perkembangannya". Anak-anak boleh dibiarkan berkembang sendiri menurut kemampuannya, tetapi harus ada pengawasan dari orang tua, yang disini berfungsi sebagai motivator dan anak dituntut supaya aktif belajar”.
Di lain pihak orang tua harus memberikan kesempatan dan menghargai anak dalam hal mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan dilandasi atas batas-batas yang tertentu dan mengarah kepada perbuatan yang negatif. Sikap semacam ini adalah kewajiban orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga untuk berdiri dibelakang anak, dalam arti tetap mengamati dan mengawasi segala tindak perbuatan anak dirumah, agar senantiasa diarahkan kepada saling kerja sama antara anak dengan orang tua.
Zakiah Darajat (1988:140) mengemukakan Tut Wuri Handayani yang berarti " bahwa orang tua harus memberikan dorongan kepada anak-anaknya, agar mereka berani berjalan didepan dan sanggup bertanggung jawab sendiri terhadap segala tingkah laku dan perbuatannya" Dalam memberikan bimbingan dan dorongan seperti tersebut di atas tidak hanya dilakukan orang tua saja, akan tetapi ikut pula orang lain yang ada dalam lingkungan keluarga seperti paman, bibi, pembantu dirumah dan yang lainnya. Jadi semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar pula pengaruh terhadap pendidikan anak dalam rumah tangga, karena sulit untuk menentukan batas-batas hak kewajiban dari anggota keluarga tersebut yang turut membantu atau membimbing anak. Selanjutnya Darajat (1988:76) mengemukakan anggota keluarga dapat memotivasi anak belajar , hal ini berarti " semakin banyak jumlah anggota keluarga yang serumah, makin banyak pengaruh mereka atas diri anak dan makin banyak pula yang dipelajari anak dari hubungan keluarga itu".
c. Orang tua sebagai pemenuhan fasilitas belajar anak
Diperkirakan salah satu faktor yang menjadi seorang anak putus sekolah atau gagal mencapai prestasi belajar, disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dalam mencapai prestasi belajar disekolah, apalagi pada zaman sekarang yang penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, sehingga banyak sekali tuntutan lingkungan yang harus dipenuhi.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak siswa yang membolos, dan berdasarkan pengamatan-pengamatan sebahagian besar adalah anak yang mengalami kesulitan balajar dan berasal dari keluarga yang sosial ekonominya tergolong lemah. Oleh karena itu banyak sekali masalah yang harus dihadapi oleh anak-anak mereka. Kadangkala ia harus membantu orang tuanya, sehingga waktu untuk kegiatan-kegiatan diluar jam sekolah tidak dapat terpenuhi. Sebaliknya bagi anak yang berasal dari sosial ekonomi keluarga yang tinggi, permasalahan yang timbul tidak terlalu berat sehingga ia dapat memanfaatkan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya terutama dalam hal belajar. Sehubungan dengan hal ini, Zakiah Darajat (1988:38) mengemukakan peranan orang tua sebagai motivator adalah :
Dalam lingkungan pergaulan sekolah, bagi orang tua siswa yang tingkat sosial ekonominya mencukupi secara sadar dan langsung dirasakan oleh anak-anaknya, bahkan mendorong anak mereka mempunyai semangat juang yang tinggi disekolah, karena anak-anak dalam belajar memiliki alat-alat perlengkapan yang diperlukan, sehingga anak tidak ada sifat minder dan latihan terhadap kawan-kawannya yang lain.

Jadi disini jelas bahwa kebutuhan dalam segi materi perlu diperhatikan oleh orang tua. Karena materi tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan seoptimal mungkin. Hal ini berarti pendapat orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan anak di sekolah. Dengan demikian tingkat pendapat orang tua mempengaruhi prestasi belajar anak di sekolah.
d. Orang tua harus membantu anak dalam proses belajar anak
Belajar adalah salah satu kegiatan yang kerap dilaksanakan oleh setiap siswa baik disekolah maupun dirumah. Karena belajar adalah kegiatan terpenting dalam upaya mencapai prestasi belajar yang tinggi. Untuk itu dalam proses belajar bagi seorang anak haruslah didampingi oleh orang tuanya, hal ini menjaga kemungkinan ia akan menemukan kesulitan-kesulitan. Darwis A Sulaiman (1979:27) mengemukakan bahwa bantuan orang tua terhadap anak dalam belajar adalah :
- Memberi petunjuk, bimbingan kepada anak tentang cara-cara belajar yang lebih aktif.
- Mengatur kedisiplinan waktu yang teratur kepada anak agar dapat memanfaatkan waktu luang sebaik mungkin, baik waktu belajar, bekerja maupun bermain.
- Setiap ada tugas atau pekerjaan rumah, orang tua harus membantu dalam penyelesaian-penyelesaian, apabila anak mendapat kesulitan dalam penyelesaiannya.
- Mengontrol setiap ada kegiatan anaknya disekolah dengan cara melihat buku latihan, setiap mata pelajarn yang diberika guru disekolah.
- Menyediakan segala kebutuhan-kebutuhan yang dapat menunjang proses belajar seperti alat tulis-menulis dan sebagainya.
- Setiap kali anak melakukan kegiatan belajar, harus diikuti dengan seksama, dan lain-lain dianggap perlu.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa fungsi orang tua dalam membantu anak sangat besar, baik didalam keluarga, masyarakat maupun di sekolah. Dengan demikian perhatian orang tua sangat penting terhadap kebutuhan anak terutama dalam hal pendidikan, karena pendidikan bukan tanggung jawab guru saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak terutama orang tua di rumah.

e. Orang tua sebagai pembentuk kedisiplinan anak
Darajat (1988 : 21) mengemukakan salah satu tugas penting orang tua adalah " mengatur waktu yang tepat pada anak, seperti waktu belajar, bekerja, bermain dan istirahat. Dalam hal ini jangan sampai waktunya hanya digunakan untuk belajar atau bekerja saja akan tetapi orang tua harus dapat membagi waktu-waktu tersebut dalam kegiatan sehari-hari".
Selain menentukan dan mengatur waktu untuk anaknya, orang tua juga harus mengontrol tentang kehadiran anaknya disekolah, baik dengan cara menanyakan kepada teman sekolah, baik dengan cara menanyakan kepada teman-teman sekelas, ataupun dari guru-guru serta melalui absensi. Karena anak yang mengalami masalah dalam belajar biasanya sering tidak masuk sekolah. Jika orang tua selalu mengadakan hubungan dengan para guru mengenai anaknya, berarti orang tua telah berusaha membantu sekolah dan siswa secara tidak langsung. Di sinilah fungsi orang tua dalam menanamkan kedisiplinan waktu kepada anak, baik dirumah maupun disekolah. Jadi jelaslah bahwa orang tua harus mengatur waktu yang tepat untuk anaknya. Karena penggunaan waktu yang tepat sangat membantu anak dalam proses belajar dan sekaligus dapat menunjang prestasi belajar anak.
f. Mengikut sertakan anak dalam kegiatan ekstra kurikuler
Suatu saat anak akan hidup ditengah masyarakat, untuk itu orang tua harus mampu memahami dan melihat potensi yang dimiliki anaknya, hal ini penting bagi masa depan anaknya. Soejanto (1990 :53) menegasakan masa anak sekolah orang tua wajib memberikan dan mengikutsertakan anak dalam berbagai kegiatan ekstra kurikuler seperti " kepramukaan, sanggar, kegiatan olah raga, kesenian kursus dan lain-lain". Kesemua itu akan sangat membantu anak dalam kehidupan, baik kehidupan dalam rumah tangga maupun sekolah dan masyarakat itu sendiri.
Pada hakekatnya tanggung jawab orang tua terhadap anak sangat besar, karena anak merupakan amanah Allah SWT kepadanya. Oleh karena itu fungsi orang tua terhadap anak-anaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan dan sandang saja, tetapi juga harus dapat memberikan perlindungan terhadap rasa aman, rasa sayang dan yang lebih penting adalah pendidikan. Karena melalui pendidikan inilah anak dapat mengenal diri orang tua dan Tuhannya. Di sisi lain seorang anak memperoleh kebahagian hidup dunia dan akhirat dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan baik yang diterima dalam keluarga, masyarakat maupun di sekolah.
Segala bentuk bantuan, tindakan yang diberikan orang tua dalam keluarga untuk membentuk kepribadian anaknya dalam upaya mendewasakan anak dan sekaligus untuk mencapai keberhasilan pendidikannya. Usaha ini sangat menentukan dalam proses pendidikan anak dimasa yang akan datang. Disini orang diharapkan dapat membantu kegiatan-kegiatan anaknya apabila ada tugas-tugas yang diberikan dari sekolah. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan kerjasama yang baik antara sekolah dengan keluarga. Agar lebih jelas definisi fungsi orang tua terhadap pendidikan anak dalam keluarga, maka penulis akan mengemukakan fungsi-fungsi tersebut sebagai berikut.
Menurut Darajat (1988 :42) fungsi ibu dalam keluarga tidak hanya sebagai ”ibu rumah tangga dan mendidik anak saja, tetapi seorang ibu harus multi fungsi, sesuai dengan kedudukannya. Apabila dilihat secara umum dalam kancah pemabanguanan sekarang ini kedudukan ibu dapat dibagi tiga yaitu ibu sebagai ibu negara, ibu sebagai tenaga kerja dan ibu sebagai ibu rumah tangga atau pendidik”.
Lebih lanjut Zakiah Darajat (1988 : 47) Pengaruh seorang bapak terhadap sikap anaknya sangat besar, karena menurut pandangan anak bahwa bapak adalah ” orang yang tertinggi dan terpandai diantara orang-orang yang dikenalnya. Sikap dan pola pikir bapak sehari-hari kemungkinan besar dapat mempengaruhi jiwa dan tingkah laku anaknya”. Apabila bapak dalam suatu keluarga seorang yang tekun, suka bekerja keras dan tinggi tanggung jawabnya serta selalu menjunjung tinggi kewajibannya, maka hal ini akan mendorong bagi anak-anaknya untuk menjalankan kewajibannya baik dirumah, dalam masyarakat maupun disekolah.
Menurut Zakiah Darajat (1988 : 49) Orang tua merupakan ” orang paling utama bagi anak dalam kehidupannya, temapt sang anak mengharapkan dan mendambakan kebutuhannya. Semenjak anak dilahirkan kedunia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, untuk itu membutuhkan bantuan manusia lain yaitu manusia yang terdekat dengannya yaitu ibu dan bapaknya”.
3. Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Anak Dalam Keluarga.
Menurut Ahmadi ( 1991 : 81) pada hakekatnya banyak faktor yang mempengaruhi pendidika anak dalam keluarga, seperti ” faktor ekonomi, tingakt pendidikan orang tua, tingkat perhatian orang tua dan keutuhan suatu keluarga”. Kesemua faktor ini sangat mempengaruhi sikap anak dalam keluarga. Untuk lebih jelas terhadap faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini :
a. Faktor ekonomi
Keadaan ekonomi keluarga ikut mempengaruhi sikap anak dalam keluarganya. Hal ini dapat kita lihat pada keluarga yang sosial ekonominya rendah, biasanya anak-anak tersebut sebahagian besar tidak mendapat pendidikan yang sempurna. Mereka sering mendapatkan hambatan-hambatan dalam mengemabangkan potensinya melalui pendidikan, karena keterbatasan fasilitas penunjangnya. Sebaliknya anak yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonomi orang tuanya berkecukupan, maka kecenderungan pendidikannya lebih sempurna. Gerungan (1991:184) menegaskan sebagai berikut :
Pengaruh latar belakang sosial ekonomi yang paling menguntungkan bagi perkembangan sosial anak-anak ialah status sosio ekonomi yang menengah saja, kecuali bahwa terdapat kemungkinan anak-anak agak lamban dalam menyesuaikan diri dengan tugas pekerjaan baru. Latar belakang sosial ekonomi yang sangat tinggi dan yang sangat rendah dapat merupakan suatu masalah sosial bagi perkembangan anak-anak.

Pendapat di atas menunukkan bahhwa status sosial ekonomi orang tua dapat mempengaruhi terhadap perkembangan sikap anak. Bagi anak yang status ekonomi orang tuanya menengah biasanya perkembangan atau keberhasilan pendidikannya lebih baik, bila dibandingkan dengan anak yang status ekonomi orang tuanya lebih rendah atau lebih tinggi.
b. Tingkat pendidikan Orang Tua
Dari sekian banyak faktor yang dapat mempengaruhi pendidikan anak dalam keluarga adalah pendidikan orang tuanya, karena tingkat pendidikan orang tua dapat mendorong pendidikan anak, sebab anak untuk pertama kalinya dan utma menerima pendidikan dalam keluarga dari ayah dan ibunya. Ahmadi (1991:75) menegaskan bahwa " pendidikan anak dapat dimulai lebih awal lagi bahkan hendak calon suami istri". Dalam hal ini orang tua zaman dahulu sangat hati-hati. Mereka berpegang teguh pada ajaran bibit, bebet dan bobot.
c. Tingkat perhatian Orang tua
Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidak hanya dengan memenuhi kebutuhan pangan dan sandang saja, tetapi kebutuhan terhadap kasih sayang dan perhatian orang tua mutlak diperlukan. Anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya dalam keluarga, maka kecenderungan ia bertingkah laku menyimpang di luar rumah. Sehubungan dengan hal ini, Darajat (1988 : 47) menegaskan bahwa ”Anak yang kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tua karena sibuk, maka kecenderungan anak mencari perhatian di luar rumah baik di sekolah maupun dalam masyarakat. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua terhadap anak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, seperti tauran siswa dan sebagainya".
d. Keutuhan suatu keluarga
Keluarga merupakan tempat anak tembuh dan berkembang serta tempat anak menerima pelajaran yang pertama secara kodrat. Di sisi lain keluarga merupakan tempat anak memperoleh keamanan, ketentangan dan perlindungan dalam berbagai hal, dimana kedua orang tuanya sebagai contoh teladan baginya. Oleh karena itu ketuhan suatu keluarga merupakan salah faktor yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perkembangan diri anak, pertumbuhan dan perkembangan ini berkaitan dengan pendidikannya, sebab pendidikan yang diterima anak dalam keluarga menjadi landasan baginya untuk menerima pendidikan selanjutnya. Sehubungan dengan hal ini, Darajat (1988 : 71) menegaskan sebagai berikut :
Si anak merasa bahwa ia disayangi, harus pula dapat merasakan bahwa tidak ada yang menakutkan atau yang membingungkan dalam keluarga, seperti orang tua yang sering berkelahi yang disebabkan si anak tidak ada ketenangan dalam rumah itu. Ia bingung kemana ia harus berpihak pada ibukah atau kepada bapak ? ia tidak merasa tenteram dalam gelombang panas yang sering melanda suasana ibu bapaknya. Anak-anak yang melihat atau mengentahui bahwa orang tuanya sering bertengkar atau tidak cocok sikapnya, akan merasa sedih, hilang nafsu makannya, bahkan mungkin sering sakit.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa keutuhan atau keharmonisan keluarga sang besar pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Dengan demikian suasana keluarga sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, karena anak lebih banyak belajar dan tinggal dalam lingkungan keluarga dibandingkan dengan lingkungkan lain baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah yang dibatasi oleh waktu. Hal ini berarti partisipasi orang tua terhadap keberhasilan pendidikan anak sangat menentukan.
C. Kesimpulan
1. Peran orang tua terhadap pendidikan anak dapat ditempuh dengan berbagai cara baik melalui bimbingan terhadap pekerjaan rumah, melengkapi fasilitas pendukung proses belajar mengajar maupun memberikan dorongan dan perhatian yang tinggi.
2. Anak lebih banyak waktunya di rumah dalam keluarga, maka pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang diperoleh dalam keluarganya baik berupa bimbingan maupun teladan dari orang tuanya.
3. Tingkat partisipasi orang tua terhadap pendidikan anaknya dapat dilihat dari bimbingan dan penyedian buku cukup baik dan fasilitas belajar sudah memadai.
4. Tanggung jawab orang tua terhadap keberhasilan pendidikan anak sangat penting, karena keberhasilan pendidikan anak sangat tergantung kepada partisipasi orang tuanya. Hal ini terbukti banyak anak yang gagal dalam dunia pendidikan, karena kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tuanya di rumah.
D. Saran-saran
1. Pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak terutama orang tua si anak itu sendiri. Oleh karena itu diharapkan kepada semua pihak yang mempunyai anak, maka disiklah ia dengan benar. Karena anak itu merupakan amanah Allah yang akan dipertanggung jawabkan nantinya.
2. Untuk meningkatkan hasil belajar anak, diharap pada orang tua semua untuk lebih meningkatkan partisipasinya dalam membimbing anak-anaknya.
3. Untuk membina anak agar lebih baik, diharap agar kerja sama antara orang tua dengan guru lebih ditingkatkan



















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmadi, Abu (1991) Sistem Pendidikan dan Pengajaran Modern, Bulan Bintang
Jakarta
Arifin (1997) Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Bumi Aksara
Best, Jhon W ( 1982) Metodologi Penelitian Pendidikan (Terjemahan Mulyadi Guntur waseso) Usaha Nasional Surabaya
Derajat, Zakiah ( 1975) Problema Remaja Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta
_____________ ( 1988) Kesehatan Mental, CV. Haji Mas Agung, Jakarta
_____________(1985) Pembinaan Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) UUD 1945, dan GBHN, Penerbit VIP, Jakarta

Gerungan, W. A (1991), Psikologi Sosial, Bulan Bintang Jakarta

Imanuddin (1980) Pendidikan di Indonesia Penilaian dan Pedoman Perencanaan, , Bulan Bintang, Jakarta

Marimba, Achmad D (1974) Pengantar Filsafat Pendidikan, Alumni, Bandung

Nasution, S (1987) Teknologi Pendidikan, Jemmars Bandung,
Simanjuntak, B (1982) Proses Belajar Mengajar, Tarsito, Bandung,
Suyono (tt) Kamus Ilmiah Populer, Bintang Pelajar
Sujanto, Agus ( 1990) Psikologi Perkembangan, Aksara Baru , Jakarta
Sulaiman, A. Darwis (1979) Pengantar Kepada Teori dan Praktek Pengajaran, IKIP Semarang Press.

Tambunan, E.H (1982) Pendidikan Sosial, Yayasan Paramita Jakarta.

Yunus Mahmud (1961) Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Pustaka Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar